
Tanggamus, Sumatrapena.com – “Aku hanya pelarian, saat butuh kau datang. Habis manis sepah dibuang, aku hanya pelarian. Aku kau anggap cadangan. Setelah kau senang kau tinggalkan. Kamu tidak punya perasaan. Habis manis sepah dibuang.”
Begitu lirik reff lagu Aku Hanya Pelarian yang dipopulerkan oleh Syahriyadi, penyanyi muda yang lagunya banyak digunakan sebagai background musik di video TikTok. Lagu ini menjadi viral karena mewakili perasaan orang yang sedang galau.
Namun, kali ini penulis tidak bermaksud membahas lagu tersebut, melainkan situasi yang mirip dengan tema lagu ini—sikap seseorang yang datang hanya saat membutuhkan sesuatu. Hal ini tampaknya terjadi di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Falah Sumbermulya.
Menjelang Pemilu 2024, sejumlah pejabat politik dari Provinsi Lampung dan berbagai kabupaten sering mengunjungi ponpes ini, termasuk calon legislatif (Caleg), calon gubernur (Cagub), dan calon bupati (Cabup).
Ponpes yang terletak di Pekon Sumbermulya, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus ini kerap menjadi tempat para pejabat atau calon pejabat untuk memoles citra. Nama besar Ponpes Al Falah menjadi daya tarik tersendiri dan sering dijadikan “panggung” yang elok bagi mereka.
Setiap kunjungan pejabat atau calon pejabat tersebut memberi mereka kesempatan untuk melihat kondisi fisik bangunan yang masih membutuhkan perbaikan serta fasilitas ponpes yang masih memerlukan tambahan.
Namun, sayangnya, pencitraan yang ditunjukkan tidak disertai dengan dukungan nyata seperti bantuan renovasi atau fasilitas pendukung bagi para santri.
Ketika para wali santri dan panitia bekerja keras untuk memperbaiki asrama Ponpes Al Falah Sumbermulya, hingga saat ini tidak ada satu pun pejabat yang memberi perhatian atau bantuan.
Demi pendidikan anak-anak mereka, para wali santri tidak mengenal lelah melakukan gotong-royong dalam proses renovasi. Mereka bermusyawarah, membentuk panitia, dan mulai mengerjakannya sejak seminggu lalu.
Menariknya, dalam kondisi ini, para santri tetap semangat belajar dan beribadah di masjid ponpes, menunggu hingga proses renovasi selesai.
Salah seorang wali santri mengungkapkan bahwa para pejabat yang datang hanya memberikan janji kosong demi kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.
“Itulah yang dinamakan politik identitas, biasa berkamuflase, kunjungi ponpes agar terlihat agamis, padahal tak lebih dari pengemis,” ujarnya.
Ponpes Al Falah Sumbermulya ibarat bunga harum yang menarik banyak “kumbang” untuk singgah, tetapi sayangnya mereka datang tanpa membawa kontribusi apa pun. Ah, sudahlah…! (Tomson)